BAB
II
KAWIN
KONTRAK/NIKAH MUT’AH
A.
Pengertian
Kawin Kontrak/Nikah Mut’ah
Istilah nikah mut`ãh berasal dari bahasa Arab,
perkataan nikah mut`ãh dalam kajian fiqh Islam merupakan penggabungan
dua buah kata, yakni kata "nikah" dan kata "
mut`ãh". Adapun kata nikah berasal dari kata نَكَحَ – يُنَكِحُ – نِكَحَا yang
artinya kawin. Kata نكاح sinonim
dengan kata زواج yang
juga berarti kawin. Dalam Bahasa Indonesia
nikah diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk
bersuami istri (dengan resmi).
Secara bahasa pengertian nikah disebutkan dalam buku al-Mabsut
sebagai berikut:
النِّكَاحِ فِىْ الْلِغَةِ عَبِارَةِ
عَنِ الْوَطِءْ
Artinya: Nikah menurut bahasa adalah menerangkan tentang
wati’ (setubuh).[1]
Pengertian nikah ditinjau dari segi lafaz, para
ulama berbeda pendapat, sebagaimana yang diungkapkan di dalam kitab al-Fiqh
‘Ala
al-Mathib al-Arba’ah sebagai berikut:
وَ قِدَ اِخْتِلَفٍ اْلعُلَمَا فِيْهَ
عَلَى ثَلَاثَ أِقْوَالِ: أحَدَهَا أنَهَ خَقِيْقَةُ فِى الْوَطِءَ مَجَازَ فِىْ اْلعَقِدِ
وَهَذَا هُوَ رَأيِ الْحَنِيْفَةِ ثَانِيَهَا: اِنِّهُ حَقِيْقَةِ فِىْ اْلعَقَدِ
مَجَازِ فِىْ الوَطِءْ وَذَلِكَ هُوَ اْلأَرَجِحُ عِنْدَ الشَّافِعِيَةِ وَاْلمَالِكِيَةِ
ثَالَثَهَا: أِنَّهُ مُشْتَرِكُ لَفْظِ بَيْنَ اْلعَقَدِ وَاْلوَطِءْ
Artinya: Ulama berbeda pendapat (dalam mengartikan lafaz nikah) atas tiga pendapat; pertama; itu hakikat pada wati’, majaz pada aqad
inilah pendapat Hanafiyah, kedua: bahwa nikah itu hakikat pada aqad, majaz dan wati’ inilah
yang paling rajih menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, ketiga: bahwa nikah itu
adalah lafaz yang musytarak antara aqad dan wati’.[2]
Sementara itu dalam mengartikan makna nikah secara
istilah (terminologi) disebutkan sebagai berikut:
النِّكَاحُ يُنَقِدُ بِالْإِيْجَابَ وَاْلقَبُوْلِ
بِلَفْظَيْنِ يَعَبِرَ بِهُمَا عَنِ اْلمَاضِىْ
Artinya: Nikah terikat dengan Ijab dan
Qabul dengan dua lafaz yang dipakaikan untuk keduanya dengan
menggunakan bentuk kata untuk masa lalu.[3]
Dalam Kitab yang lain defenisi nikah secara etimologi
adalah berkumpul dan bersetubuh ( الضَمِ وَالْجَمَعِ ) sedangkan
secara terminologi adalah sebagai berikut:
عِبَارَةِ عَنِ اْلعَقَدِ اْلمَشْهُوْرَ
اْلمُسْتَمَلَ عَلَى اْلارُكُانْ وَالشَّرَوطُ وَيَطْلُقَ عَلَى اْلعَقَدْ وَعَلَى
اْلوَطِءْ
Artinya: Suatu ketentuan atau keterangan tentang aqad yang masyhur yang di dalamnya terkandung beberapa rukun dan
syarat nikah, untuk dapat membedakan antara aqad dan wati’ secara
etimologi.
As-Samarqandi di dalam kitabnya Tu’fah al-Fuqaha’ menjelaskan pengertian nikah ini
dengan redaksi yang cukup berbeda sebagai berikut:
Artinya: Adapun menurut syara’
yaitu suatu ungkapan tentang adanya rukun akad nikah dan syarat-syaratnya.[4]
Sedangkan
kata mut’ah berasal dari kata " مَمَتَعَ, يُمَتِعُ, مُتْعَةَ" yang memiliki makna kenikmatan. Dalam kamus Lisan
al-‘Arab, Ibnu Manzur mengatakan “mut’ah adalah bersenang-senang
dengan perempuan tetapi kamu tidak mengingininya kekal bersamamu dan kenikmatan
kawin di Mekah”. [5]
Adapun makna nikah mut`ãh itu sendiri adalah pernikahan
yang dilakukan antara laki-laki dan wanita dengan akad dan jangka waktu
tertentu. Dikatakan oleh
Hamdani nikah mut`ãh juga dinamakan nikah muaqqat, “artinya nikah
untuk waktu tertentu atau nikah munqathi (nikah terputus), yaitu seorang
laki-laki menikahi perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau sebulan”. [6]
Dari defenisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan nikah mut`ãh adalah pernikahan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dan wanita dengan jangka waktu pernikahan yang ditentukan
serta dilakukan dengan menggunakan akad tertentu pula.
Menurut
imam-imam madzhab di Indonesia di dalam kitab mereka, nikah mut’ah adalah
pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui atau tidak,
kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari, kemudian nikah
itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan satu kali haidh
atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Selama empat bulan sepuluh hari
pada wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan hukum nikah tersebut
bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan
nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada ‘iddah kecuali meminta
lepas menurut yang ia ingat dan tidak ditetapkan nasab.
Dari
definisi tersebut bahwasanya perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi
terhadap arti nikah sesungguhnya. Bahwa nikah mut’ah itu adalah suatu ikatan
yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk
bergaul antara suami dan istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang
telah digariskan Allah dalam al-Qur’an yaitu ketenteraman, kecintaan dan kasih
sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya
keturunan dan kelangsungan hidup manusia. Seperti firman Allah:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4
Artinya: “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padany Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...”.[7]
B. Tarikh Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh
Rasulullah SAW sebelum stabilitasnya syari’at Islam, yaitu diperbolehkannya
pada waktu bepergian dan peperangan, akan tetapi kemudian diharamkan. Rahasia
diperbolehkan nikah mut’ah waktu itu adalah karena masyarakat Islam pada waktu
itu masih dalam transisi (masa peralihan dari Jahiliyah kepada Islam), sedang
perzinahan pada masa Jahiliyah merupakan suatu hal yang biasa. Maka setelah
Islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya
mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka
ada yang kuat imannya dan ada pula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang
lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai perbuatan
yang keji dan terlarang. Bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri
dan mengimpotenkan kemaluannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud:
عَنِ ْبنُ مَسْعُوْدَ قَاَل : كَناَ نَغَزَوَا
مَعَ رَسُوْلَ اللهِ صا. م. وَلِيْسَ مَعَنَا
نِسَاءِ فَقَلَنَا : أَلْا نَسِتَخِصِى ؟ فَنَهَا نَا رَسُوْلَ اللهِ صا.م. عَنِ ذَالِكْ.
وَرُخْصَ لِنَا اَنَ نِنكَحُ اْلمَرْ أَةُ الْثُوَبُ إِلَى أَجَلَ.
Artinya: ”Dari Mas’ud berkata: waktu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW
dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata: bolehkah kami mengkebiri
(kemaluan kami). Maka Rasulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan
Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan
mahar baju sampai satu waktu”.
Tetapi rukhshah yang diberikan oleh nabi
kepada para sahabat hanya selama tiga hari setelah itu beliau melarangnya,
seperti sabdanya:
وَعَنِ سَلَمَةْ بِنْ اَلأَ كْوَعْ قَاَل : رَخِصُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَامَ أَوْطَاسَ فِى اْلمُطْعَةِ,
ثَلَاثَهِ أَيَامَ, ثَم نِهَى عَنْهَا ( رواه مسلم )
Artinya: ”Dari Salamah bin Akwa’ berkata: Rasulullah SAW memberikan keringanan
nikah mut’ah pada tahun authas (pernikahan kota Makah) selama 3 hari kemudian
beliau melarangnya.” (HR. Muslim)
Dari hadits Salamah ini memberikan
keterangan bahwasanya Rasulullah SAW pernah memperbolehkan nikah mut’ah
kemudian melarangnya dan menasakh rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam
perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali,
kebolehannya itu sebelum perang Khaibar kemudian diharamkannya dalam perang
Khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Mekah (tahun Authas),
setelah itu nikah mut’ah diharamkan selama-lamanya, sehingga tehapuslah
rukhshah itu selama-lamanya, seperti dalam hadits Rasulullah SAW:
وَعَنِ رَبِيْع بِنْ سَبِورَةَ, عَنْ أَبِيْهِ
رَضِىَ اللهُ عَنْهُ, أَنْ رَسُوْلَ اللهِ صا.م. قَالَ: إَتِىْ كِنَتَ أُذِنَتَ لَكُمْ
اِلَّإسَتِمَنَاعَ مِنْ النِسَاءِ, وَإِنَّ اللهَ قَدَ حَرَمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ
اْلقِيَامَةِ (أخرجه مسلم وأبو داود والنسائ وأحمد وابن حبان )
Artinya: ”Dari Rabi’ bin Saburah dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk meminta mut’ah
dari wanita, dan sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan itu sampai hari
kiamat”. (HR Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ahmad dan Ibn Majah)
C. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Nikah Mut’ah
1.
Jumhur
Ulama
Kebanyakan dari para sahabat dan
semua Ulama’ fiqh mengharamkan nikah mut’ah berdasarkan hadits Rasulullah SAW
yang mutawatir tentang pengharaman nikah tersebut. Yang menjadi ikhtilaf di
kalangan mereka adalah waktu pengharaman nikah mut’ah. Dari sebagian riwayat
yang mengharamkannya pada perang Khaibar, ada yang sebagian pada penaklukan
Mekah, ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk, ada yang sebagian pada haji
wada’, ada yang sebagian pada umrah qadha’ dan ada sebagian pada waktu tahun
Authas.
2.
Ibnu
Abbas
Yang telah terkenal bahwasanya
beliau menghalalkan nikah mut’ah. Ibn Abbas ini mengikuti pendapat dari ahli
Mekah dan ahli Yaman, mereka meriwayatkan bahwasanya Ibn Abbas dalam firman
Allah:
4
$yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é& ZpÒÌsù 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ [8]
Artinya: Maka isteri-isteri yang
Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu.[9]
Pada suatu huruf darinya (Ibn Abbas) sampai batas
waktu yang ditentukan, diriwayatkan darinya sesungguhnya dia berkata: “mut’ah
(bersenang-senang terhadap istri) tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza wa
Jalla, Dia telah memberikan rahmat kepada umat Muhammad SAW berupa mut’ah dan Umar tidak
melarangnya karena dalam keadaan terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang
impoten. Ini diriwayatkan dari Ibn Abbas rawi darinya jarih, Umar dan Ibn Dinar.
Dari Atha’ ia
berkata: saya mendengar Jabir bin Abdillah berkata: kami melakukan nikah mut’ah sejak masa
Rasulullah kemudian kepemimpinan Abu Bakar dan setengah dari kepemimpinan Umar
kemudian setelah itu Umar melarang mut’ah kepada semua manusia (umat muslim).
D. Pendapat Pemakalah Tentang Hukum Nikah Mut’ah
Kami sebagai pemakalah menetapkan
bahwasanya hukum melakukan nikah mut’ah adalah “haram”. Karena itu nikah mut’ah
(asbab al-furud) sudah jelas. Pertama-tama nikah mut’ah diperbolehkan pada
perang penaklukan kota Mekah dan perang Khaibar, tetapi setelah itu Rasulullah
SAW melarang nikah mut’ah atau menasakh rukhshahnya selama-lamanya sampai hari
kiamat. Maka dari itu kesimpulannya bahwa nikah mut’ah itu “haram”
selama-lamanya.
Menurut kami, nikah mut’ah itu
seperti pelacuran atau seks komersial pada saat sekarang ini. Seseorang datang,
memesan dan melakukan hubungan seks setelah itu membayar dan pulang. Jadi,
barangsiapa melakukan nikah mut’ah sama juga melakukan perzinaan walaupun dalam
keadaan terpaksa.
مَنْ
اَسْتَمَتَعِ مِنْ النِّسَاءِ فَزَ نِى
“Barangsiapa yang melakukan mut’ah maka ia telah berzina”
E. Nikah Misyar
1.
Pengertian
Nikah Misyar
Secara etimologi, Misyar berasal
dari -safara- yang berarti pergi atau
bepergian. Maka secara etimologi dapat diartikan bahwa nikah Misyar adalah
nikah yang dilakukan oleh orang yang sedang bepergian.
Secara terminologi, nikah
misyar/pernikahan bagi pelancong adalah sebuah perkawinan di mana pasangan
hidup bersama di rumah yang sama, tapi suami tidak bertanggung jawab secara
finansial bagi istrinya. Nikah ini dilakukan dengan maksud perceraian di
kemudian hari. Bisa juga disebut perkawinan sementara.
Perbedaan antara nikah misyar dan
nikah biasa adalah:
-
Pasangan
tidak hidup dalam satu rumah tangga. Mereka mengunjungi satu sama lainnya.
-
Suami
tidak bertanggung jawab menafkahi istri.
-
Pernikahan
dimaksudkan berlaku untuk sementara saja.
Berbeda dengan nikah mut’ah yang berakhir
tanggal kontraknya, sedangkan nikah misyar tidak ada tanggal perceraian.
Keinginan/maksud untuk bercerai sudah tersirat dalam perkawinan, tetapi kapan
perceraian akan terjadi tidak diberitahukan kepada si istri sebelum perkawinan,
itu bisa diputuskan oleh suami setelah perkawinan terjadi, tanpa sepengetahuan
dan persetujuan si istri.
Suami bebas pergi ke mana saja
meninggalkan istri dan anak-anaknya sesuka hatinya, karena sudah menandatangani
kontrak pernikahan seperti itu, istri tidak boleh meminta cerai karenanya. Suami
boleh menikahi wanita lain di negara lain tanpa memberi tahu istri. Istri dan anak-anak kehilangan hak-hak
mereka jika terjadi perceraian.
2.
Hukum
Nikah Misyar
Imam Islam sunni, Abu Hanifah tidak
setuju dengan nikah mut’ah, tetapi di dalam fiqhnya ketika seorang muridnya
bertanya apakah boleh laki-laki menikahi wanita dengan maksud menceraikannya
pada keesokan harinya, dia menjawab diperbolehkan.
Dalam hal nikah misyar, para ulama
membolehkan karena saat akad nikah tidak ada ketentuan dari kedua belah pihak
untuk memberikan batasan usia pernikahannya.sehingga di dalamnya tidak ada
niatan untuk sekedar memanfaatkan salah satu pihak. Sedangkan niat untuk
menceraikan merupakan sebuah niat yang terletak di dalam hati hanya dia dan
Allah sajalah yang tahu tentang niat tersebut dan tidak diutarakan niat
tersebut kepada orang lain.
Apabila pada saatnya nanti ada
kecocokan dan keserasian antara keduanya maka tidak menuntut kemungkinan
pernikahan yang awalnya hanya diniatkan untuk sesaat menjadi sebuah pernikahan
yang kekal dan selamanya. Jadi secara logika dapat diterima bahwa sebuah
pernikahan dengan sebuah niat untuk menceraikan adalah boleh sebagaimana sebuah
contoh, seseorang meniatkan diri untuk mendapatkan pujian orang lain saat
beramal, maka beramal orang tersebut adalah boleh hanya saja karena niatnya
tersebut, pahala yang dijanjikan oleh Allah akan hilang karena riya’. Tetapi
secara kesahan sebuah amal tetap sah hukumnya.
Sebegitu juga dengan sebuah
pernikahan yang di dasari sengan niat untuk menceraikan tetap sah asalkan rukun
dan syaratnya terpenuhi namun di sisi Allah kurang sempurna pernikahan itu.
3.
Alasan-Alasan
Nikah Misyar
Pernikahan semacam ini terjadi
karena alasan ekonomi. Karena kebanyakan pemuda tidak mampu kawin dan menafkahi
istri. Karena itu, masa pertunangan yang lama sudah biasa. Nikah misyar
memperbolehkan laki-laki menikahi gadis-gadis yang kemudian tinggal bersama
orang tua mereka. Orang tua istrilah yang menafkahi istri dan pasangan suami
istri kadang-kadang bertemu dengan tujuan untuk berhubungan seks saja. Nikah
misyar biasanya dilakukan oleh orang miskin yang berharap suatu hari pernikahan
mereka akan mejadi pernikahan biasa di mana suami istri hidup bersama.
Nikah misyar bertahun-tahun di Saudi
Arabia dan Mesir dihalalkan dan disahkan oleh imam sunni Mesir imam Syeikh
Muhammad Sayyid Tantawi tahun 1999, mufti Mesir ini adalah pembela kuat nikah
misyar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
-
Dari
masalah yang telah dibahas di atas, dapat kita simpulkan bahwa larangan nikah
mut’ah bagi umat Islam atau diharamkannya nikah mut’ah bagi umat Islam.
-
Allah
akan melaknat siapa pun saja yang melakukan nikah mut’ah.
-
Nikah
mut’ah dapat merugikan bagi muslimah, anak-anak yang dihasilakn dengan atau
hasil nikah mut’ah tidaka akan mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah.
-
Perbedaan
antara nikah mut’ah dengan nikah misyar terletak pada waktu yang digunakan
untuk lamanya waktu penikahan tersebut, dalam nikah mut’ah dijelaskan waktunya
sedangkan di nikah misyar tidak ditentukan hanya dalam hati saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warsono Munawwir,
(T.th), Kamus Bahasa Arab Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan
Buku-buku Ilmiyah Keagamaan.
Depag RI,
(2007), Al-qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Proyek Pengadaan Al-qur’an dan Terjemahnya Depag RI.
Lois Ma’luf, (1987), Al-Munjid fi al-Lugah, Beirut: Dar
al-Masyriq.
Syamsu
ad-Din as-Karakhsi, (1993), Al-Mabsut, Juz III, Cet. I, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah.
Tim Redaksi Ensiklopedi
Hukum Islam, (1987), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid IV (Jakarta: Ichtiar
baru Van Hoeve.
Ibrahim
Muhammad Al-Jamal, alih bahasa Fiqh Wanita. fiqhul
Mar’atil Muslimah. Semarang: CV Asy-Syifa.
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah. Bandung: PT
Al-Ma’arif.
TUGAS KELOMPOK
KAWIN KONTRAK/NIKAH MUT’AH
Diajukan untuk memenuhi Tugas Matakuliah
MASAILUL FIQHIYAH
OLEH :
KARMIN
EDI MUALIMIN
M.FAISAL
M.ARPAH
THAHIRAH
QAULAN KARIMA
MARTALENA
HALISMAWATI
PROGRAM STUDI : S1
PAI
SEMESTER :
VII
DOSEN PENGAMPU : QUSTHONIAH,S.Ag.,M.Ag
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2010/2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami ucapkan
kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia serta nikmatnya sehingga saya
dapat menyelesaikan Makalah tentang KAWIN KONTRAK/NIKAH MUT’AH
Shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada
junjungan kita nabi besar Muhammad SAW
karena dengan perjuangannya kita bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk.
Selanjutnya kepada semua pihak yang terlibat di
dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu
semoga mendapat berkah dari Allah SWT.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih
banyak terdapat kekeliruan, namun demikian penulis mengharapkan tegur sapa,
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari rekan-rekan, sehingga dengan
saran dan kritik dari rekan-rekan mudah-mudahan penulis bisa memperbaiki untuk
kedepannya, karena tidak ada manusia yang terlepas dari kesalahan dan
kehilafan. Penulis berharap semoga tugas ini bermanfaat bagi kita semua. Amin
Tembilahan, Mei 2011
KELOMPOK
|
||||
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................. iii
B. Rumusan Masalah......................................................................... iii
C. Tujuan Penulisan........................................................................... iii
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengetian Nikah Mut’ah............................................................... 1
B. Tarikh Nikah Mut’ah.................................................................... 2
C. Pendapat Para Ulama Tentang
Hukum Nikah Mut’ah................... 6
D. Pendapat Pemakalah tentang
Hukum Nikah Mut’ah...................... 8
E. Nikah Misyar............................................................................... 9
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
|
[1]Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi, “Asy-Syi’ah minhum ‘alaihim”,
Al-Hujjah Risalah No: 48 / Thn IV / Shafar / 1423H, hal. 23.
[2]Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lugah, (Beirut: Dar
al-Masyriq,1986), hal. 836.
[3]Syamsu ad-Din as-Karakhsi, Al-Mabsut, Juz III,
Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1993), hal. 192.
[4]Ibid.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiyah Keagamaan,
t.th.), hal. 1560.
[6]Tim Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid
IV (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1987), hal. 1344.
[7]QS: 4: 1.
[8]QS: 4: 24.
[9]ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama
sekali maskawin yang Telah ditetapkan.
Terima kasih atas penjelasan tentang kawin kontrak yang lengkap dan mudah dipahami ini... Salam kenal
BalasHapusnice info gan, kerennn
BalasHapusSouvenir Pernikahan Murah Kediri