Sabtu, 09 Juni 2012

KAWIN KONTRAK/NIKAH MUT’AH


BAB II
KAWIN KONTRAK/NIKAH MUT’AH

A.     Pengertian Kawin Kontrak/Nikah Mut’ah
Istilah nikah mut`ãh berasal dari bahasa Arab, perkataan nikah mut`ãh dalam kajian fiqh Islam merupakan penggabungan dua buah kata, yakni kata "nikah" dan kata " mut`ãh". Adapun kata nikah berasal dari kata نَكَحَ – يُنَكِحُ – نِكَحَا yang artinya kawin. Kata نكاح sinonim dengan kata زواج yang juga berarti kawin. Dalam Bahasa Indonesia nikah diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi).
Secara bahasa pengertian nikah disebutkan dalam buku al-Mabsut sebagai berikut:
النِّكَاحِ فِىْ الْلِغَةِ عَبِارَةِ عَنِ الْوَطِءْ       
Artinya: Nikah menurut bahasa adalah menerangkan tentang wati’ (setubuh).[1]
Pengertian nikah ditinjau dari segi lafaz, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana yang diungkapkan di dalam kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mathib al-Arba’ah sebagai berikut:
وَ قِدَ اِخْتِلَفٍ اْلعُلَمَا فِيْهَ عَلَى ثَلَاثَ أِقْوَالِ: أحَدَهَا أنَهَ خَقِيْقَةُ فِى الْوَطِءَ مَجَازَ فِىْ اْلعَقِدِ وَهَذَا هُوَ رَأيِ الْحَنِيْفَةِ ثَانِيَهَا: اِنِّهُ حَقِيْقَةِ فِىْ اْلعَقَدِ مَجَازِ فِىْ الوَطِءْ وَذَلِكَ هُوَ اْلأَرَجِحُ عِنْدَ الشَّافِعِيَةِ وَاْلمَالِكِيَةِ ثَالَثَهَا: أِنَّهُ مُشْتَرِكُ لَفْظِ بَيْنَ اْلعَقَدِ وَاْلوَطِءْ
Artinya: Ulama berbeda pendapat (dalam mengartikan lafaz nikah) atas tiga pendapat; pertama; itu hakikat pada wati’, majaz pada aqad inilah pendapat Hanafiyah, kedua: bahwa nikah itu hakikat pada aqad, majaz dan wati’ inilah yang paling rajih menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, ketiga: bahwa nikah itu adalah lafaz yang musytarak antara aqad dan wati’.[2]
Sementara itu dalam mengartikan makna nikah secara istilah (terminologi) disebutkan sebagai berikut:
النِّكَاحُ يُنَقِدُ بِالْإِيْجَابَ وَاْلقَبُوْلِ بِلَفْظَيْنِ يَعَبِرَ بِهُمَا عَنِ اْلمَاضِىْ
Artinya: Nikah terikat dengan Ijab dan Qabul dengan dua lafaz yang dipakaikan untuk keduanya dengan menggunakan bentuk kata untuk masa lalu.[3]
Dalam Kitab yang lain defenisi nikah secara etimologi adalah berkumpul dan bersetubuh ( الضَمِ وَالْجَمَعِ ) sedangkan secara terminologi adalah sebagai berikut:
عِبَارَةِ عَنِ اْلعَقَدِ اْلمَشْهُوْرَ اْلمُسْتَمَلَ عَلَى اْلارُكُانْ وَالشَّرَوطُ وَيَطْلُقَ عَلَى اْلعَقَدْ وَعَلَى اْلوَطِءْ
Artinya: Suatu ketentuan atau keterangan tentang aqad yang masyhur yang di dalamnya terkandung beberapa rukun dan syarat nikah, untuk dapat membedakan antara aqad dan wati’ secara etimologi.
As-Samarqandi di dalam kitabnya Tufah al-Fuqaha’ menjelaskan pengertian nikah ini dengan redaksi yang cukup berbeda sebagai berikut:
وَأَمَا فِيْ الْشَرَعِ فِعِبَارَةِ عَنِ وُجُوْدِ رُكُنُ اْلعَقَدِ مَعَ شَرَوْطِهِ
Artinya: Adapun menurut syara’ yaitu suatu ungkapan tentang adanya rukun akad nikah dan syarat-syaratnya.[4]
Sedangkan kata mut’ah berasal dari kata " مَمَتَعَ, يُمَتِعُ, مُتْعَةَ" yang memiliki makna kenikmatan. Dalam kamus Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzur mengatakan “mut’ah adalah bersenang-senang dengan perempuan tetapi kamu tidak mengingininya kekal bersamamu dan kenikmatan kawin di Mekah”. [5]
Adapun makna nikah mut`ãh itu sendiri adalah pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dan wanita dengan akad dan jangka waktu tertentu. Dikatakan oleh Hamdani nikah mut`ãh juga dinamakan nikah muaqqat, “artinya nikah untuk waktu tertentu atau nikah munqathi (nikah terputus), yaitu seorang laki-laki menikahi perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau sebulan”. [6]
Dari defenisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan nikah mut`ãh adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan wanita dengan jangka waktu pernikahan yang ditentukan serta dilakukan dengan menggunakan akad tertentu pula.
Menurut imam-imam madzhab di Indonesia di dalam kitab mereka, nikah mut’ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari, kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan satu kali haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Selama empat bulan sepuluh hari pada wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan hukum nikah tersebut bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada ‘iddah kecuali meminta lepas menurut yang ia ingat dan tidak ditetapkan nasab.
Dari definisi tersebut bahwasanya perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Bahwa nikah mut’ah itu adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami dan istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-Qur’an yaitu ketenteraman, kecintaan dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia. Seperti firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padany Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...”.[7]


B.     Tarikh Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah SAW sebelum stabilitasnya syari’at Islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu bepergian dan peperangan, akan tetapi kemudian diharamkan. Rahasia diperbolehkan nikah mut’ah waktu itu adalah karena masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari Jahiliyah kepada Islam), sedang perzinahan pada masa Jahiliyah merupakan suatu hal yang biasa. Maka setelah Islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan ada pula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai perbuatan yang keji dan terlarang. Bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengimpotenkan kemaluannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud:
عَنِ ْبنُ مَسْعُوْدَ قَاَل : كَناَ نَغَزَوَا مَعَ رَسُوْلَ اللهِ صا. م.  وَلِيْسَ مَعَنَا نِسَاءِ فَقَلَنَا : أَلْا نَسِتَخِصِى ؟ فَنَهَا نَا رَسُوْلَ اللهِ صا.م. عَنِ ذَالِكْ. وَرُخْصَ لِنَا اَنَ نِنكَحُ اْلمَرْ أَةُ الْثُوَبُ إِلَى أَجَلَ.
Artinya: ”Dari Mas’ud berkata: waktu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata: bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Rasulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”.

Tetapi rukhshah yang diberikan oleh nabi kepada para sahabat hanya selama tiga hari setelah itu beliau melarangnya, seperti sabdanya:
وَعَنِ سَلَمَةْ بِنْ اَلأَ كْوَعْ قَاَل : رَخِصُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَامَ أَوْطَاسَ فِى اْلمُطْعَةِ, ثَلَاثَهِ أَيَامَ, ثَم نِهَى عَنْهَا ( رواه مسلم )
Artinya: ”Dari Salamah bin Akwa’ berkata: Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah mut’ah pada tahun authas (pernikahan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya.” (HR. Muslim)

Dari hadits Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah SAW pernah memperbolehkan nikah mut’ah kemudian melarangnya dan menasakh rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum perang Khaibar kemudian diharamkannya dalam perang Khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Mekah (tahun Authas), setelah itu nikah mut’ah diharamkan selama-lamanya, sehingga tehapuslah rukhshah itu selama-lamanya, seperti dalam hadits Rasulullah SAW:
وَعَنِ رَبِيْع بِنْ سَبِورَةَ, عَنْ أَبِيْهِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ, أَنْ رَسُوْلَ اللهِ صا.م. قَالَ: إَتِىْ كِنَتَ أُذِنَتَ لَكُمْ اِلَّإسَتِمَنَاعَ مِنْ النِسَاءِ, وَإِنَّ اللهَ قَدَ حَرَمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ (أخرجه مسلم وأبو داود والنسائ وأحمد وابن حبان )
Artinya: ”Dari Rabi’ bin Saburah dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk meminta mut’ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan itu sampai hari kiamat”. (HR Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ahmad dan Ibn Majah)



C.     Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Nikah Mut’ah
1.      Jumhur Ulama
Kebanyakan dari para sahabat dan semua Ulama’ fiqh mengharamkan nikah mut’ah berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang mutawatir tentang pengharaman nikah tersebut. Yang menjadi ikhtilaf di kalangan mereka adalah waktu pengharaman nikah mut’ah. Dari sebagian riwayat yang mengharamkannya pada perang Khaibar, ada yang sebagian pada penaklukan Mekah, ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk, ada yang sebagian pada haji wada’, ada yang sebagian pada umrah qadha’ dan ada sebagian pada waktu tahun Authas.
2.      Ibnu Abbas
Yang telah terkenal bahwasanya beliau menghalalkan nikah mut’ah. Ibn Abbas ini mengikuti pendapat dari ahli Mekah dan ahli Yaman, mereka meriwayatkan bahwasanya Ibn Abbas dalam firman Allah:
4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ [8]
Artinya: Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.[9]
Pada suatu huruf darinya (Ibn Abbas) sampai batas waktu yang ditentukan, diriwayatkan darinya sesungguhnya dia berkata: mutah (bersenang-senang terhadap istri) tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza wa Jalla, Dia telah memberikan rahmat kepada umat Muhammad SAW berupa mutah dan Umar tidak melarangnya karena dalam keadaan terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang impoten. Ini diriwayatkan dari Ibn Abbas rawi darinya jarih, Umar dan Ibn Dinar. Dari Atha ia berkata: saya mendengar Jabir bin Abdillah berkata: kami melakukan nikah mutah sejak masa Rasulullah kemudian kepemimpinan Abu Bakar dan setengah dari kepemimpinan Umar kemudian setelah itu Umar melarang mutah kepada semua manusia (umat muslim).

D.    Pendapat Pemakalah Tentang Hukum Nikah Mut’ah
Kami sebagai pemakalah menetapkan bahwasanya hukum melakukan nikah mut’ah adalah “haram”. Karena itu nikah mut’ah (asbab al-furud) sudah jelas. Pertama-tama nikah mut’ah diperbolehkan pada perang penaklukan kota Mekah dan perang Khaibar, tetapi setelah itu Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah atau menasakh rukhshahnya selama-lamanya sampai hari kiamat. Maka dari itu kesimpulannya bahwa nikah mut’ah itu “haram” selama-lamanya.
Menurut kami, nikah mut’ah itu seperti pelacuran atau seks komersial pada saat sekarang ini. Seseorang datang, memesan dan melakukan hubungan seks setelah itu membayar dan pulang. Jadi, barangsiapa melakukan nikah mut’ah sama juga melakukan perzinaan walaupun dalam keadaan terpaksa.
مَنْ اَسْتَمَتَعِ مِنْ النِّسَاءِ فَزَ نِى
“Barangsiapa yang melakukan mut’ah maka ia telah berzina”

E.     Nikah Misyar
1.      Pengertian Nikah Misyar
Secara etimologi, Misyar berasal dari -safara- yang berarti pergi atau bepergian. Maka secara etimologi dapat diartikan bahwa nikah Misyar adalah nikah yang dilakukan oleh orang yang sedang bepergian.
Secara terminologi, nikah misyar/pernikahan bagi pelancong adalah sebuah perkawinan di mana pasangan hidup bersama di rumah yang sama, tapi suami tidak bertanggung jawab secara finansial bagi istrinya. Nikah ini dilakukan dengan maksud perceraian di kemudian hari. Bisa juga disebut perkawinan sementara.
Perbedaan antara nikah misyar dan nikah biasa adalah:
-         Pasangan tidak hidup dalam satu rumah tangga. Mereka mengunjungi satu sama lainnya.
-         Suami tidak bertanggung jawab menafkahi istri.
-         Pernikahan dimaksudkan berlaku untuk sementara saja.
Berbeda dengan nikah mut’ah yang berakhir tanggal kontraknya, sedangkan nikah misyar tidak ada tanggal perceraian. Keinginan/maksud untuk bercerai sudah tersirat dalam perkawinan, tetapi kapan perceraian akan terjadi tidak diberitahukan kepada si istri sebelum perkawinan, itu bisa diputuskan oleh suami setelah perkawinan terjadi, tanpa sepengetahuan dan persetujuan si istri.
Suami bebas pergi ke mana saja meninggalkan istri dan anak-anaknya sesuka hatinya, karena sudah menandatangani kontrak pernikahan seperti itu, istri tidak boleh meminta cerai karenanya. Suami boleh menikahi wanita lain di negara lain tanpa memberi tahu istri. Istri dan anak-anak kehilangan hak-hak mereka jika terjadi perceraian.
2.      Hukum Nikah Misyar
Imam Islam sunni, Abu Hanifah tidak setuju dengan nikah mut’ah, tetapi di dalam fiqhnya ketika seorang muridnya bertanya apakah boleh laki-laki menikahi wanita dengan maksud menceraikannya pada keesokan harinya, dia menjawab diperbolehkan.
Dalam hal nikah misyar, para ulama membolehkan karena saat akad nikah tidak ada ketentuan dari kedua belah pihak untuk memberikan batasan usia pernikahannya.sehingga di dalamnya tidak ada niatan untuk sekedar memanfaatkan salah satu pihak. Sedangkan niat untuk menceraikan merupakan sebuah niat yang terletak di dalam hati hanya dia dan Allah sajalah yang tahu tentang niat tersebut dan tidak diutarakan niat tersebut kepada orang lain.
Apabila pada saatnya nanti ada kecocokan dan keserasian antara keduanya maka tidak menuntut kemungkinan pernikahan yang awalnya hanya diniatkan untuk sesaat menjadi sebuah pernikahan yang kekal dan selamanya. Jadi secara logika dapat diterima bahwa sebuah pernikahan dengan sebuah niat untuk menceraikan adalah boleh sebagaimana sebuah contoh, seseorang meniatkan diri untuk mendapatkan pujian orang lain saat beramal, maka beramal orang tersebut adalah boleh hanya saja karena niatnya tersebut, pahala yang dijanjikan oleh Allah akan hilang karena riya’. Tetapi secara kesahan sebuah amal tetap sah hukumnya.
Sebegitu juga dengan sebuah pernikahan yang di dasari sengan niat untuk menceraikan tetap sah asalkan rukun dan syaratnya terpenuhi namun di sisi Allah kurang sempurna pernikahan itu.
3.      Alasan-Alasan Nikah Misyar
Pernikahan semacam ini terjadi karena alasan ekonomi. Karena kebanyakan pemuda tidak mampu kawin dan menafkahi istri. Karena itu, masa pertunangan yang lama sudah biasa. Nikah misyar memperbolehkan laki-laki menikahi gadis-gadis yang kemudian tinggal bersama orang tua mereka. Orang tua istrilah yang menafkahi istri dan pasangan suami istri kadang-kadang bertemu dengan tujuan untuk berhubungan seks saja. Nikah misyar biasanya dilakukan oleh orang miskin yang berharap suatu hari pernikahan mereka akan mejadi pernikahan biasa di mana suami istri hidup bersama.
Nikah misyar bertahun-tahun di Saudi Arabia dan Mesir dihalalkan dan disahkan oleh imam sunni Mesir imam Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi tahun 1999, mufti Mesir ini adalah pembela kuat nikah misyar.









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
-                 Dari masalah yang telah dibahas di atas, dapat kita simpulkan bahwa larangan nikah mut’ah bagi umat Islam atau diharamkannya nikah mut’ah bagi umat Islam.
-                 Allah akan melaknat siapa pun saja yang melakukan nikah mut’ah.
-                 Nikah mut’ah dapat merugikan bagi muslimah, anak-anak yang dihasilakn dengan atau hasil nikah mut’ah tidaka akan mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah.
-                 Perbedaan antara nikah mut’ah dengan nikah misyar terletak pada waktu yang digunakan untuk lamanya waktu penikahan tersebut, dalam nikah mut’ah dijelaskan waktunya sedangkan di nikah misyar tidak ditentukan hanya dalam hati saja.

















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warsono Munawwir, (T.th), Kamus Bahasa Arab Indonesia, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiyah Keagamaan.
Depag RI, (2007), Al-qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Al-qur’an dan Terjemahnya Depag RI.
Lois Ma’luf, (1987),  Al-Munjid fi al-Lugah, Beirut: Dar al-Masyriq.
Syamsu ad-Din as-Karakhsi, (1993), Al-Mabsut, Juz III, Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Tim Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, (1987), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid IV (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve.
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, alih bahasa Fiqh Wanita. fiqhul Mar’atil Muslimah. Semarang: CV Asy-Syifa.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Bandung: PT Al-Ma’arif.
















 


TUGAS KELOMPOK
KAWIN KONTRAK/NIKAH MUT’AH
Diajukan untuk memenuhi Tugas Matakuliah
MASAILUL FIQHIYAH
lambang stai

                                                        
                                                                     
                            


OLEH : 
KARMIN
EDI MUALIMIN
M.FAISAL
M.ARPAH
THAHIRAH
QAULAN KARIMA
MARTALENA
HALISMAWATI

PROGRAM STUDI : S1 PAI 
SEMESTER : VII

DOSEN PENGAMPU : QUSTHONIAH,S.Ag.,M.Ag


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AULIAURRASYIDIN  TEMBILAHAN
2010/2011
KATA PENGANTAR
A025
            Alhamdulillah, kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia serta nikmatnya sehingga saya dapat  menyelesaikan  Makalah tentang KAWIN KONTRAK/NIKAH MUT’AH
Shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW  karena dengan perjuangannya kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Selanjutnya kepada semua pihak yang terlibat di dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu semoga  mendapat berkah dari Allah SWT.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekeliruan, namun demikian penulis mengharapkan tegur sapa, saran dan kritik yang sifatnya membangun dari rekan-rekan, sehingga dengan saran dan kritik dari rekan-rekan mudah-mudahan penulis bisa memperbaiki untuk kedepannya, karena tidak ada manusia yang terlepas dari kesalahan dan kehilafan. Penulis berharap semoga tugas ini bermanfaat bagi kita semua. Amin



                                                                       Tembilahan,    Mei 2011


 KELOMPOK






i
 



 






DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I     PENDAHULUAN
                A. Latar Belakang............................................................................. iii
                B. Rumusan Masalah......................................................................... iii
                C. Tujuan Penulisan........................................................................... iii
BAB II    PEMBAHASAN   
                 A. Pengetian Nikah Mut’ah............................................................... 1
                 B. Tarikh Nikah Mut’ah.................................................................... 2
                 C. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Nikah Mut’ah................... 6
                 D. Pendapat Pemakalah tentang Hukum Nikah Mut’ah...................... 8
                 E. Nikah Misyar............................................................................... 9
BAB IV  PENUTUP
                  Kesimpulan................................................................................... 10
                               
DAFTAR PUSTAKA






ii
 
 


[1]Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi,  “Asy-Syi’ah minhum ‘alaihim, Al-Hujjah Risalah No: 48 / Thn IV / Shafar / 1423H, hal. 23.
[2]Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lugah, (Beirut: Dar al-Masyriq,1986), hal. 836.
[3]Syamsu ad-Din as-Karakhsi, Al-Mabsut, Juz III, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1993), hal. 192.
[4]Ibid.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiyah Keagamaan, t.th.), hal. 1560.
[6]Tim Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid IV (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1987), hal. 1344.
[7]QS: 4: 1.
[8]QS: 4: 24.
[9]ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang Telah ditetapkan.

2 komentar: