BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Mendidik
anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh
kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan umat Islam yang
tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah
s.w.t. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan
orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka
yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat
adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan
jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal
dunia.
Semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya
Semaraknya perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina sudah cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah lainnya, seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin lepas darinya
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana kedudukan hukum anak
pungut dalam Islam?
2. Bagaimana kedudukan hukum
anak angkat dalam Islam?
3. Bagaimana kedudukan hukum
anak zina dalam Islam?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana kedudukan hukum
anak pungut dalam Islam.
2. Bagaimana kedudukan hukum
anak angkat dalam Islam.
3. Bagaimana kedudukan hukum
anak zina dalam Islam.
BAB II
STATUS ANAK ANGKAT, ANAK PUNGUT
DAN ANAK ZINA
A.
Anak Angkat
1. Pengertian Anak Angkat
Anak
menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah: ”Anak adalah
keturunan kedua”.[1]
Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah
dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi
akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Pasal
171 huruf h Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah
anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.[2]
Kedudukan
anak angkat yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam
melanjutkan sebuah keluarga. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan
dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari kehari semakin berkembang,
bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara
maksimal.
Dari
pengertian di atas, maka pengertian anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaannya untuk hidupnya dialihkan dari tanggungan orang tua asal kepada
orang tua angkat.
2. Sumber Hukum
Dasar hukum adanya anak angkat dalam Islam adalah Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5:
$¨B @yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur @yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur @yèy_ öNä.uä!$uÏã÷r& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºs Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)t ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgt @Î6¡¡9$# ÇÍÈ öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JÏm§ ÇÎÈ
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu
yang kamu zhihar[3]
itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan
Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu.[4]
dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.[5]
Berdasarkan ayat ini, maka dapat diambil pelajaran sebagai
berikut:
a. Adopsi
dengan praktik dan tradisi di jaman Jahiliyyah yang memberi status kepada anak
angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak
diakui oleh Islam.
b. Hubungan
anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum
diadopsi yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan baik anak angkat itu
diambil dari kerabat dekat maupun orang lain.[6]
3. Pandangan Ulama
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan istilah tabanni,
dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah pemalsuan atas
realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang
lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya. Ia bebas saja berduaan
dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka adalah mahramnya.
Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri ayah angkatnya
bukanlah ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan, bibi, dan
seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi (orang lain) baginya. Dalam
istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat dengan anak
aku-akuan”.[7]
Yusuf
Qardhawi menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam. Pada
masa jahiliyah, mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak
angkat bagi mereka tak beda dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah
angkat meninggal. Inilah yang diharamkan dalam Islam. Amir Syarifuddin
menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal
dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua
asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui
bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmad
Syarabasyi mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan pengangkatan anak, yang
dibangsakan atau dianggap bahwa anak tersebut sebagai anaknya sendiri yang
berasal dari shulbinya atau dari ayah atau ibunya (padahal anak tersebut adalah
anak orang lain). Hal ini juga berdasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 4-5 yang
telah dikemukakan di atas.[8]
Di samping pendapat di atas, ada semacam pengangkatan
anak tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam.
Yaitu menemukan anak yatim atau mendapat di jalan, kemudian memeliharanya,
mencukupi kebutuhannya, pendidikannya dan kebutuhan yang lain, namun tidak
dinasabkan sebagai anaknya dan tidak pula diperlakukan padanya hukum-hukum anak
seperti di atas. Anak yang dipungut ini disebut dengan ibnu sabil (anak jalan).[9]
Dalam hal ini, Islam menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan yang mulia, dan
akan mendapat pahala berupa syurga, seperti yang dikatan oleh Rasulullah SAW
dalam haditsnya:
انا وكا فل ا ليتم فئ الجنة هكذا. واشا ر با لسبا بة والو سطئ وفرج بينهما.
(البخاري وابوداود والترمذي) [10]
Artinya: “Saya akan bersama orang yang menanggung anak
yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia
ranggangkan antara keduanya”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada masa
sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan anak
kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki hak
waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai mahram,
ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota
keluarga orang tua angkatnya. Akan
tetapi, mengambil anak yatim kemudian memeliharanya dan mencukupi segala
keperluannya, dan tidak menganggapnya anak, maka hal tersebut boleh dan nabi
sendiri melakukannya serta akan mendapatkan pahala syurga.
B. Anak Pungut
1.
Pengertian Anak Pungut
Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia, tidak
diakui dan dijamin oleh seseorang kemudian ia diambil oleh orang lain.[11]
Laqiith ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan
terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan bundanya. Demikian defenisi
yang tercantum dalam kitab Al-Lisaan dan kitab Al-Mishbaah. Biasanya
laqiith adalah anak yang dibuang oleh orang tuanya.[12]
Ditinjau dari sisi istilah syar’i artinya adalah sebagai
berikut:
Menurut madzhab Hanafi, laqiith adalah sebutan
untuk seorang bayi yang dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau untuk
menghindari tuduhan telah berbuat aib. Menurut pendapat madzhab Syafi’i,
laqiith adalah setiap bayi yang terlantar dan tidak ada yang menafkahinya. Menurut
madzhab Hambali, laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz
(dewasa) yang tidak diketahui nasabnya dan terlantar, atau tersesat di
jalan.[13]
Untuk mengkompromikan semua pendapat ini, maka dapat
disimpukan Laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz
yang tidak diketahui nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh
keluarganya karena takut miskin atau menghindari tuduhan jelek, atau karena
alasan lainnya.
2.
Sumber Hukum
Dasar
hukum yang mendasari adanya anak pungut adalah:
a. QS. Al-Maidah ayat 32:
ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ Ï9ºs Îû ÇÚöF{$# cqèùÎô£ßJs9 ÇÌËÈ
Artinya:
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah
dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang
kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui
batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.[14]
b. QS. Al-Maidah ayat 2:
¢ (#qçRur$yès?ur
n?tã
ÎhÉ9ø9$#
3uqø)G9$#ur
(
wur
(#qçRur$yès?
n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
(
¨bÎ)
©!$#
ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
ÇËÈ
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.[15]
c. Hadits Nabi SAW:
انا وكا فل ا ليتم فئ الجنة هكذا. واشا ر با لسبا بة والو
سطئ وفرج بينهما. (البخاري وابوداود والترمذي)
Artinya: “Saya akan bersama orang yang menanggung anak
yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia
ranggangkan antara keduanya”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).[16]
3.
Pandangan Ulama tentang Status Anak
Pungut
Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak yang tersia-siakan
dari orang tuanya lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan
untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan,
biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini
sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang
memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban
menafkahinya ada pada kami.’[17]
Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang
menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad
fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan
menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena
itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang
mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah.
Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju
murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah
pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t. Karena anak angkat atau
anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila
orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia
berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan
dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas
sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.[18]
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Mughni
(V/392), “Memungut anak seperti ini hukumnya wajib, berdasarkan firman
Allah Ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 2. Karena dengan memungut
anak tersebut berarti ia telah mcnyelamatkan jiwa seorang yang masih hidup dan
ini hukumnya wajib. Seperti: dengan cara memberikan makanan dan menyelamatkan
anak yang hanyut”.[19]
Berdasarkan
uraian tentang pengertian, dasar hukum dan pendapat ulama tentang hukum anak
pungut, maka dapat ambil kesimpulan bahwa memungut anak yang tersia-siakan
merupakan hal yang Fardu Kifayah bagi umat Islam. Karena dengan memungut
anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan
anak tersebut dari kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non
muslim. Dasar hukum yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang
tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash
Hadits. Setelah anak tersebut dipungut maka status anak tersebut sama dengan
anak angkat yaitu secara hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari
keluarga yang memeliharanya, maka jika keluarga ingin memberikan bagian
untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau wasiat dengan jatah
maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
Demikian pula mengenai mahram, ia
berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota
keluarga orang tua pungutnya. Selama
anak pungut tersebut tidak menyusu dengan ibu pungutnya maka saudara dari
keluarga pungut berhak untuk menikahinya.
C. Anak Zina
1.
Pengertian Anak Zina
Zina
menurut Al-Jurnani adalah:
Memasukkan
penis (zakar:Arab) ke dalam vagina (farj:Arab) bukan miliknya (bukan istrinya)
dan tidak ada unsur syubhat (kekeliruan/keserupaan).[20]
Dari
definisi di atas, maka dapat disimpulkan perbuatan dapat dikatakan zina jika:
a. Adanya persetubuhan antara
dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
b. Tidak adanya keserupaan atau
kekeliruan dalam perbuatan tersebut.
Dengan
unsur pertama, maka jika ada dua orang yang berbeda jenis kelamin bary
bermesraan seperti berciuman atau berpelukan belum dikatakan berzina yang
dijatuhi hukum dera atau pun rajam. Tetapi mereka bisa dihukumi ta’zir dengan
tujuan mendidik.[21]
Anak
zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa disebut
dengan anak tidak sah.[22]
Dengan
demikian yang dimaksud dengan anak zina adalah anak yang terlahir dari rahim
seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis kelamin antara laki-laki dan
wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa kekeliruan atau
kesalahan. Dengan demikian status anak zina bernasab kepada pihak ibu bukan
bapak yang menyebabkan wanita itu hamil.
2.
Sumber Hukum
Kriteria
minimal anak tersebut dapat dinilai anak zina berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu
QS. Al-Ahqaaf ayat 15:
$uZø¢¹urur
z`»|¡SM}$#
Ïm÷yÏ9ºuqÎ/
$·Z»|¡ômÎ)
(
çm÷Fn=uHxq
¼çmBé&
$\döä.
çm÷Gyè|Êurur
$\döä.
(
¼çmè=÷Hxqur
¼çmè=»|ÁÏùur
tbqèW»n=rO
#·öky
4
#Ó¨Lym
#sÎ)
x÷n=t/
¼çn£ä©r&
x÷n=t/ur
z`Ïèt/ör&
ZpuZy
tA$s%
Éb>u
ûÓÍ_ôãÎ÷rr&
÷br&
tä3ô©r&
y7tFyJ÷èÏR
ûÓÉL©9$#
|MôJyè÷Rr&
¥n?tã
4n?tãur
£t$Î!ºur
÷br&ur
@uHùår&
$[sÎ=»|¹
çm9|Êös?
ôxÎ=ô¹r&ur
Í<
Îû
ûÓÉLÍhè
(
ÎoTÎ)
àMö6è?
y7øs9Î)
ÎoTÎ)ur
z`ÏB
tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$#
ÇÊÎÈ
Artinya: “Kami perintahkan kepada
manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya
dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah
Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan
kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk
orang-orang yang berserah diri".[23]
Batas ibu menyapih anaknya terdapat
pada QS. Luqman ayat 14 yaitu:
$uZø¢¹urur
z`»|¡SM}$#
Ïm÷yÏ9ºuqÎ/
çm÷Fn=uHxq
¼çmBé&
$·Z÷dur
4n?tã
9`÷dur
¼çmè=»|ÁÏùur
Îû
Èû÷ütB%tæ
Èbr&
öà6ô©$#
Í<
y7÷yÏ9ºuqÎ9ur
¥n<Î)
çÅÁyJø9$#
Artinya:
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.[24]
Dari
ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa lama ibu mengandung dan menyusui
anaknya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun, ini berarti lama meyusui yang
syari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun maka bayi yang lahir setelah setengah
tahun atau 6 bulan setelah menikah tidak dapat dikatakan anak zina, namun jika
lahir sebelum umur menikah 6 bulan maka anak tersebut dapat dikatakan dengan
anak zina atau anak di luar nikah.
Dengan
demikian bagi anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua hubungan
secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk kepada warisan. Meskipun anak
terstatus anak zina namun menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk
menjaga dan tidak menjelek-jelekkan atau menghina anak tersebut karena pada
dasarnya yang bersalah adalah kedua orang tuanya bukan dia. Sebagamana Hadits
nabi SAW:
كل مولوديولدعلى الفطرةحتى يعربعنه
لسا نه فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسا نه
Artinya:
Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan
semuanya beragama Islam (tauhid), sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua
orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
(HR. Abu Ya’la, Al-Thabarani dan Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).[25]
Oleh
karena itu, meskipun status anak tersebut adalah anak zina maka harus dididik
secara Islami agar tidak terjerumus dalam lubang yang salah dalam hidupnya.
3.
Pandangan Ulama mengenai Status Anak
Zina
Menurut
ulama, ada dua akibat nyata yang diterma oleh anak zina dikarenakan perbuatan
salah orang tuanya, yaitu:
a. Hilangnya martabat Muhrim
dalam keluarga.
Jika
anak haram tersebut adalah perempuan, maka antara bapak (pemilik sperma) dengan
anak itu dibolehkan menikah. Hal ini menurut pandangan imam malik dan Imam
Syafii’ yaitu diperbolehkan bagi seseorang mengawini putrinya (anak zina),
saudara perempuannya, cucu perempuannya, keponakan perempuannaya yang semuanya
dari hasil zina.[26]
Mazhab
Syi’ah Imamiyah, Hanafiah dan Hambaliah menyatakan haram menikahi anak hasil
zinanya dengan alasan meskipun anak tersebut hasil zina namun tetap dianggap sebagai
anak menurut pengertian bahasa dan adat/tradisi. Karena itu haram hukumnya
menikahinya.[27]
Pendapat ini merupakan pendapat yang berdasarkan alasan akal manusiawi karena
melihat secara zhahir bahwa anak tersebut merupakan hasil dari perbuatannya dan
secara biologis dia merupakan darah dagingnya sendiri. Menurut mereka bertiga,
keharaman tersebut hanya dilihat secara tradisi saja namun secara syara’ yang
shahih maka mereka juga membolehkan pernikahan tersebut.
Secara
hak perwalian ketika menikah maka jumhur ulama sepakat bahwa orang tua secara
biologis tersebut tidak memiliki hak untuk menikahkan anaknya kelak ketika
anaknya menikah nanti.
b. Hilangnya hak waris dalam keluarga
Hukum
Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina kepada bapaknya.
Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan
kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak di luar
nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerbatan untuk mendapatkan warisan.
Menurut
Ahlul-Sunnah dan Mazhab Hanafiah menyebutkan anak zina memiliki hubungan
kewarisan dengan ibu dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi
dari pihak ibu saja. Sedangkan golongan Syi’ah menganggap bahwa anak zina tidak
mempunyai hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan karena warisan
merupakan suatu nikmat bagi ahli waris sedangkan zina merupakan suatu
kemaksiatan sehingga kenikmatan atau anugerah tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.[28]
Sebagian
ulama (Syafi’I, Hambali, Syi’ah) berpendapat bahwa akad nikah itu merupakan sebab
utama terjadinya nasab antara seseorang dengan orang tuanya. Oleh karena itu
jika anak terlahir sebelum usia pernikahan enam bulan maka anak tersebut
merupakan anak di luar nikah.
Maka
salah satu jalan dari seorang bapak yang dia merasa bertanggung jawab dengan
anaknya untuk memberikan hartanya tidak bisa lewat warisan tetapi bisa melalui
hibah semasa dia masih hidup atau dengan jalan wasiat asalkan tidak melebihi
sepertiga dari jumlah hartanya.
Dari
berbagai uraian tentang anak zina di atas, maka anak hasil zina merupakan anak
yang terlahir dari rahim seorang wanita tanpa adanya hubungan suami istri yang
sah. Karena hal tersebut, maka bagi anak tersebut terlepas sebuah kewajiiban
dari seorang bapak kepadanya yang meliputi:
c. Hilangnya hak waris.
d. Hilangnya nasab kepadanya.
e. Diperbolehkannya anak hasil
zina dinikahi oleh bapaknya secara biologis karena secara syari’at tidak
memiliki hubungan apapun.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terdapat
persamaan yang dapat diambil antara anak angkat, anak pungut dan anak zina
yaitu ketiganya tidak dapat dianggap sebagai anaknya sendiri meskipun
penganggapan tersebut didasari oleh rasa sayang yang sepenuhnya. Persamaan yang
lain adalah ketiga jenis anak ini tidak memiliki hak warisan dari keluarga yang
memeliharanya dan dapat diberikan untuk mereka adalah hibah dan wasiat.
Perbedaan
antara ketiganya adalah anak angkat merupakan anak yang dengan sengaja
dipelihara bukan dikarenakan oleh menemukan atau memungutnya tetapi memang
sengaja memeliharanya. Sedangkan anak pungut adalah anak yang dipelihara karena
anak tersebut sudah disia-siakan dengan tujuan agar anak tersebut terselamatkan
baik secara jiwa maupun secara agamanya.
Sedangkan
anak zina merupakan anak yang secara lahiriah atau biologis merupakan anaknya
namun secara syara’ merupakan orang lain tidak memiliki nasab kepadanya.
B.
Saran
Meskipun
ketiga anak tersebut memiliki kondisi yang berbeda-beda dalam pandangan agama,
namun sebagai umat Islam maka sebuah kewajiban untuk berbuat baik kepada mereka
dan membimbingnya kepada jalan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, (2004),
Ensiklopedi Anak, Penerjemah Ustadz Ali Nur, Jakarta:
Penerbit Darus-Sunnah.
Ahmad Syarabasyi, (T.Th), Himpunan Fatwa, Surabaya: Al-Ikhlas.
Al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy-Syaikh Shalih bin Fauzan, Hukum Mengadopsi Anak, Majalah As-Sunnah Edisi 04/TAHUN
XI/1428H/2007M.
Depag
RI, (2002), Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Depag RI.
Depag
RI, (2007), Al-Qur’an dan Terjemahnya
Perkata, Jakarta: Syaamil Al-Qur’an.
http://madaniannida-kumpulanmakalahpai.blogspot.com/2011/01/status-anak-pungutanak-angkat-anak-zina.html, diakses tanggal 3 April 2011.
Imah
Tahido Yanggo, (2005), Masailul Fiqhiyah, Bandung: Angkasa.
Kamisa,
(2005), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern , Jakarta: Balai
Pustaka.
Masjfuk
Zuhdi, (1993), Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung.
Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, (t.Th), Halal dan Haram dalam Pandangan Islam, Jakarta: PT Bina Ilmu.
Sayid
Sabiq, (1981), Fiqh Sunnah, Libanon: Darl Fikar.
[1]Kamisa,
Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia Modern , (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 13.
[2]Depag
RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), hal. 9.
[3]zhihar ialah perkataan seorang suami
kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan
lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab
Jahiliyah bahwa bila dia Berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu
haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang
Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal
baginya dengan membayar kaffarat (denda).
[4]Maula-maula ialah seorang hamba sahaya
yang sudah dimerdekakan atau seorang yang Telah dijadikan anak angkat, seperti
Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah
[5]Depag
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an,
2007), hal. 418.
[6]Masjfuk
Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 29.
[7]Ibid.,
hal. 28.
[8]Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, (Surabaya:
Al-Ikhlas, TTh), hal. 321.
[9]Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, Halal
dan Haram dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT Bina Ilmu, TTh), hal. 53-54.
[10]Ibid.
[11]Anonim, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000), hal.173.
[12]http://amaz95.wordpress.com/2010/05/13/anak-pungut/,
diakses tanggal 1 April 2011.
[13]Abu
Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, Ensiklopedi Anak, Penerjemah Ustadz
Ali Nur, (Jakarta: Penerbit Darus-Sunnah,2004), hal. 468-470.
[14]Depag
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, (Jakarta: Syaamil Al-Qur’an,
2007), hal.
[15]Ibid.,
hal.
[16]http://madaniannida-kumpulanmakalahpai.blogspot.com/2011/01/status-anak-pungutanak-angkat-anak-zina.html,
diakses tanggal 3 April 2011.
[17]Ibid.
[18]Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi,
Op.Cit., hal. 53-54.
[19]Al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy-Syaikh Shalih bin
Fauzan, Hukum Mengadopsi Anak, Majalah
As-Sunnah Edisi 04/TAHUN XI/1428H/2007M.
[20]Masjfuk
Zuhdi, Op.Cit., hal. 33.
[21]Sayid
Sabiq, Fiqh Sunnah, (Libanon: Darl Fikar, 1981), hal. 369.
[22]Imah
Tahido Yanggo, Masailul Fiqhiyah, (Bandung: Angkasa, 2005), hal. 178.
[23]Depag
RI, Op.Cit, hal.
[24]Ibid.
[25]Masjfuk
Zuhdi, Op.Cit., hal. 38.
[26]Ibid.,
hal. 179.
[27]Ibid.
[28]Ibid.,
hal. 180.